Rabu, 29 Juli 2015

Ibadah sebagai Persekutuan orang Beriman[1]


Oleh : Pdt. Nicodemus Sedubun
A.      Pengantar
Terdapat banyak sekali pemahaman orang tentang hakikat dan makna ibadah. Ada orang yang memahami ibadah itu sebagai sebuah persekutuan yang melakukan ritus di tempat-tempat tertentu. Ada juga yang memahaminya sebatas kegiatan liturgis pada waktu-waktu tertentu. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa ibadah adalah urusan pribadi dengan Tuhannya, tidak perlu dilakukan di tempat ibadah berkumpul dengan orang-orang seimannya. Detail tentang ibadah akan diurai dibagian berikutnya.
Ibadah sebagai sebuah persekutuan yang terjadi di tempat ibadah, menekankan pada aktivitas dan kreatifitas berkumpul dengan berbagai karya mengisi kegiatannya beserta dengan berbagai bagian liturgisnya. Ibadah ini dapat disebut sebagai ibadah yang spiritualis, yang sering kita sebut sebagai kebaktian (minggu, unit, sektor, organisasi: laki-laki, perempuan, pemuda, remaja, SM/TPI, dll). Ibadah juga berupa bersekutu, melayani, bersaksi dan mengupayakan kehidupan ekonomi umat.[2] Di dalamnya orang berbakti, berkarya dan berprestasi bagi mutu hidupnya dan dibagikan kepada sesama manusia lainnya. Ibadah di sini sering disebut ibadah sosial. Ibadah ini adalah mempraktekkan, mendemonstrasikan secara nyata buah-buah iman Kristen kepada sesama manusia lainnya. Sesungguhnya ibadah Kristen yang paripurna adalah menyangkut aspek jasmani dan rohani, baik dalam kata maupun juga karya. Ibadah lengkap ini yang dimaksudkan oleh Paulus dalam Roma 12:1-2. Di situ Paulus menasihatkan Jemaat Roma bahwa ibadah yang sejati, benar dan kokoh, adalah ketika mereka mempersembahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Tuhan.  
   
B.      Pengertian  
Ibadah, baik dalam pemahaman Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, berarti pelayanan. Istilah bahasa Ibrani disebut avoda, sedangkan dalam bahasa Yunani disebut latreia. Istilah avoda merujuk kepada ibadah di kuil, Bait Allah atau Sinagoge dan khusus lebih mengarah dalam hal berdoa (Hastings 1955:527). G. Riemer (1995:52) mengatakan bahwa menurut Abineno kata ibadah yang biasanya digunakan dalam Perjanjian Baru diterjemahkan dari tiga istilah Yunani :  leiturgia (Yun. λειτουργια) Kis.13:2, beribadah kepada Allah, latreia (Yun. λατρεια) Roma 12:1, mempersembahkan seluruh tubuh dan thereskeia (Yun. θερησκεια) Yak.1:27, pelayanan kepada orang yang dalam kesusahan.
Dengan demikian, ibadah adalah avoda atau latreia yang adalah suatu pelayanan yang dipersembahkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah; tidak hanya dalam arti ibadah di Gereja (berdoa), tetapi juga dalam arti pelayanan kepada sesama (Luk.10:25; Mat.5:23, Yoh.4:20-24, Yak.1:27; lihat Douglas 2004:409).
Terdapat istilah Ibrani lain yang banyak kali salah dipahami berkaitan dengan ibadah yaitu kata abodah. Kata ini berasal dari pengertian kata kerja abad, kata bendanya adalah abodah. Kata ini berhubungan dengan ebed, artinya pelayan, budak. Kata abad (Kel 5:15; 2 Ta 2:18) dan abodah (Kel 5:9, 11; Neh 3:5). Istilah abodah dikenakan juga untuk kerja orang Lewi (Kel 38:21; Bil 4:23-47). Ke dua kata abad dan abodah menunjuk kepada pengertian yang sama, yaitu melayani, suatu pelayanan yang ditujukan kepada seseorang yang statusnya lebih tinggi. Kerja harus dipertanggung-jawabkan kepada Allah Sang Pencipta atau kerja adalah ibadah yang harus dilakukan di hadapan Allah. Karena semuanya harus dipertanggungjawab-kan di hadapan Allah. Dengan demikian istilah abodah ini mengandung makna pelayanan. Sesungguhnya kerja bukanlah hal yang lebih rendah dari pelayanan yang dilakukan dalam Gereja dan juga di luar. Sebab motivasi utama kerja adalah melayani Tuhan Allah (Mat. 25:31-46).
Kenyataan di Perjanjian lama, dilarang menerima pemberian sesen pun dari orang lain tanpa bekerja sesuatu padanya. Seorang Rabi Yahudi sama kedudukannya dengan seorang dosen di perguruan tinggi; ia harus menguasai suatu bidang pekerjaan yang dilakukannya dengan tangannya supaya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tidak heran, ada rabi yang menjadi tukang jahit, tukang sepatu, tukang cukur, atau tukang roti dan juga menjadi aktor. Bagi orang Yahudi, bekerja adalah kehidupan. Jadi, semua jenis pekerjaan yang dikaruniakan Allah kepada seseorang, harus diterima dengan ucapan syukur tanpa harus menjadi irihati berbanding pekerjaan yang lebih banyak menghasilkan uang.

C.      Ibadah Sebuah Pelayanan Gereja yang Paripurna   
Gereja (ecclesia) yang dimaksud dalam Perjanjian Baru adalah sekelompok orang yang dipanggil oleh Roh Kudus untuk menyaksikan Kabar Sukacita tentang kasih dan keselamatan Tuhan kepada manusia lain di dunia (KPR. 2;1-13). Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki persekutuan yang indah (KPR. 2:41-47; 4:32-37). Dalam Perjanjian Baru Gereja bukan suatu bangunan gedung atau sistem organisasi melainkan sekelompok ummat Allah, tubuh Kristus dan persekutuan yang sesungguhnya dalam Tuhan. Yang terpenting bagi orang Kristen selaku anggota Gereja, adalah hubungannya dengan Yesus Kristus sebagai Kepala (Efesus 4: 12, 15-16). Mereka adalah bagian utuh dari satu persekutuan orang percaya.
Hidup persekutuan orang percaya di dalam Gereja saman Perjanjian Baru menyang-kut tiga fungsi utama, yaitu: ibadah, persekutuan dan kesaksian.[3] Selain itu masih ada fungsi lainnya seperti berdoa, pemahaman Alkitab, pengajaran dan sebagainya.
1.      Ibadah
Hidup bersekutu dan beribadah terjadi dalam Jemaat. Ada empat fungsi ibadah, yaitu: perayaan, pendidikan, pertobatan dan penyerahan diri. Sebagai suatu perayaan, dari ibadah Israel dalam Perjanjian Lama dan ibadah Jemaat dalam Perjanjian Baru, sampai ibadah jemaat gereja masa kini, seluruhnya meninggikan dan merayakan kuasa abadi dan kasih setia Allah. Melalui Yesus Kristus menyelesaikan karya besar penyelamatan dan penebusan umat sederhana, juga merayakan karya ajaib Roh Kudus hingga kini, melalui jemaat memuliakan Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Sebagai tempat pendidikan, dalam ibadah Allah berfirman kepada kita melalui Roh Kudus. Dia membimbing kita ke jalan-Nya melalui membaca Firman Tuhan, menceritakan atau disampaikan. Di dalamnya Roh Kudus berkarya menggerakkan kita, berfirman kepada kita, mendidik dan membim-bing kita agar kerohanian kita dapat bertumbuh. Dalam ibadah kita sadar akan dosa kita dan bertobat. Mendengar Firman Tuhan dalam ibadah, kita memberi respon terhadap Firman Allah biasanya berupa puji-pujian dan perayaan. Tetapi ada juga respon lebih khusus yakni kesadaran akan dosa dan pertobatan pribadi. Contohnya, ketika nabi Yesaya melihat Kemuliaan Allah, dia menyadari kenajisan dan dosa dalam dirinya. (Yesaya 6). Dalam ibadah kita menyerahkan diri untuk dipakai Tuhan Allah sebagai alat kemuliaan bagi Tuhan.
2.      Persekutuan
Hidup persekutuan berfungsi sebagai Terang dan Garam bagi dunia. Alkitab mencatat:  "Demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus, tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain" (Roma 12 : 5 ). Persekutuan Jemaat bermaksud untuK saling menguatkan iman (internal) dan kemudian keluar kepada dunia untuk menjadi berkat (eksternal). Peran ini membuat orang Kristen berfungsi sebagai pembagi berkat TUHAN kepada sesamanya. Paulus berkata kepada Timotius: "Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitahukan perkataan kebenaran itu" (II Timotius 2:15).
3.      Kesaksian  
Peran jemaat di dalam gereja adalah bersaksi, memberi kesaksian tentang Allah yang penuh kasih, mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal Jesus Kristus, disalibkan demi dosa manusia, mati menanggung dosa manusia, dan bangkit dari kematian supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya memperoleh hidup yang kekal (Yohanes 3;16). Selain itu juga memberi saksi hidup dalam kehidupan memuliakan nama-Nya (I Korintus 10:31). Kesaksian adalah tugas kepedulian nyata Gereja kepada dunia (Ibrani 10:24).  

D.     Ibadah Sebuah Ritual Kontekstualisasi
Bagian hidup ibadah dan persekutuan Gereja tidak lepas dari fakta sosial budayanya. GPM berada dalam lingkar kekayaan adat budaya lokal yang mencitrakan karya kasih dan anugrah Tuhan yang Mahaagung. Adat-budaya dengan semua ‘produk’-nya seperti pandangan hidup (world view), kearifan lokal (local wisdom), sistem nilai lokal (local value system), bahasa, pantun, tarian, ukiran, tenun sampai berbagai ritual sucinya perlu ditelusuri supaya ditemukan apa saja pesan kasih, kemurahan dan sukacita yang Tuhan tinggalkan bagi kebaikan hidup manusia pemiliknya. Semuanya adalah kekayaan dan keragaman konteks berteologi Gereja (Schreiter 1993; cf. Sedubun 2001; Sedubun 2012).
      GPM mesti bisa menyatakan keputusan transformasi nilai-nilai adat-budaya di Jemaat-Jemaatnya sebagai upaya nyata berteologi. Upaya itu mewarnai visi Gereja dan peribadatannya; bagaimana konsep-konsep pandangan dunia (world view), kearifan lokal (local wisdom) dan sistem nilai lokal (local value system) menjadi kekhasan teologinya; bagai-mana tarian-tarian adat, pantun-pantun tua, nyanyian tanah, ukiran pada tiang dan mahangi gedung baileo bisa mewarnai dan diterima sebagai kekayaan liturgis dan turut mewarnai bangunan Gerejanya; bagaimana tradisi-tradisi adat : perkunjungan ke rumah tua, ke kubur, ke woma[4] negeri atau ke kampung lama, mengalami pencerahan dari paham penyembahan kepada orang mati dan roh leluhur kepada penghormatan terhadap inti nilai moral atau sentrisme. Ia adalah sebuah ‘repetisi ritual’ adat dan bukan sebuah penyembahan (lihat Sedubun 2012:184-186). Saudara-saudara Katolik telah berani mene-gaskan bahwa perkunjungan ke kubur orang mati/ orangtua adalah penghormatan (lihat Jebadu, 2009:298-299). Sebab orang percaya hanya menyembah kepada Tritunggal yang Esa: Tuhan Allah, Tuhan Yesus dan Roh Kudus.  
Simbol-simbol konsep adat-budaya dan tradisi-tradisi yang dikandungnya punya daya simbolis yang mengartikan esensi nilai komunikasi dalam masyarakat (Dillistone 1986:199-210). Daya simbolisnya biasa tampak dalam proses perjalanan waktu (Hall 1960:15-19). Von Rad (1972:56-57) mengatakan bahwa di dalamnya ada ‘hati yang mendengar’ atau ‘hati yang paham’ yang berujung pada hidup yang teratur taat kepada hukum. Bahwa hidup orang percaya yang berjalan dalam sejarah dunia adalah bagian utuh dan nyata dari sejarah keselamatan Allah. Di sana, di dalam kenyataan hidup yang pahit-duka sampai yang manis-suka ada selalu tanda-tanda penyertaan keselamatan-Nya. Eben Nuban Timo (2004:33-40) mengatakan bahwa dalam perjalanan waktu hidup manusia yang tertata dalam peristiwa sejarah, agama dan budaya, terlihat sidik jari Allah. Maksudnya, di semua peristiwa itu entah petaka ataukah prestasi, Tuhan Allah mening-galkan tanda-tanda penyertaan-Nya. Tinggal bagaimana manusia, terpenting bagi orang percaya, memahami dan mengartikannya supaya kembali mencari cinta kasih dan anugrah-Nya.  
Bagi GPM bagaimana ibadah dan hidup persekutuan kita dapat diwarnai dari dalam semua kekayaan adat-budaya dengan berbagai kekayaan tradisinya. Tentu perlu ada upaya kritis terhadap semua kekayan lokal Jemaat itu. Termasuk bagaimana hubungan hidup antar masyarakat dan antar Jemaat-Jemaat mendapat pencerahan baru dari kekayaan kearifan lokal kita : pela (Maluku Tengah, Ambon dan Lease), kai-wait (Buru), ain ni ain (Kei-Maluku Tenggara), bela (Aru dan Tanimbar). Intinya adalah apakah di dalam kekayaan tradisi adat-budaya di konteks Maluku itu kita, GPM, melihat, merasakan dan kemudian memiliki kasih sayang Tuhan yang sudah menyelamatkan kita, lalu mau kita demonstrasikan sebagai sebuah kesaksian hidup kepada diri kita dan juga kepada orang lain yang belum mengenal-Nya. Karena hidup kita sudah diselamatkan oleh anugrah kasih-Nya dalam pengorbanan Tuhan kita Yesus Kristus, maka hidup orang percaya adalah penting mendemonstrasikan ibadah Perjanjian Lama, avoda, ibadah kerja aboda sebagai ebed (hamba) dan ibadah Perjanjian baru sebagai latreia. Hakekat hidup kita: HIDUP adalah IBADAH dan IBADAH adalah MELAKUKAN KEHENDAK TUHAN.
Tuhan Yesus memberkati kita. Syalom alaikhem/eirene humin; Pdt. Nick Sedubun. 




Pustaka
Dillistone F. W
1986    The Power of Symbols, London, SCM Press
Douglas J.D. (ed.),
2004    Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid I, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih
Hall Edward. T
            1959    The Silent Language, New York, FWL
Hastings James,
1955    Encyclopedia of Relegion and Ethics vol.29, New York, C. Scribner’s Sons
Jebadu Alex
            2009    Bukan Berhala ! Penghormatan Kepada Leluhur, Maumere, Ledalero
Riemer  G,
1995    Cermin Injil, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih
Sedubun, Nicodemus
2001    Kalimat-un Sawa Dalam Qur’an, Sebuah Sumbangan Pemahaman Aqidah
Islam TerhadapSumpah Perdamaian Hawear (Tesis), Yogyakarta, PPS-T UKDW
2012    Ain Ni Ain  Managing Christian-Moslem Relationship In The South East Moluccas (Ain Ni Ain Mengelola Hubungan Kristen-Islam Di Maluku Tenggara), Disertasi, Atesea Thelogical Union (ATU) & Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta
Subagya Rachmat
            1979    Agama dan Alam Kerohanian Asli Indonesia, Jakarta, CLC
Timo, Eben Nuban
            2005    Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Maumere, Ledalero
von Rad,  Gerhard
            1970    Wisdom in Israel, London, SCM Press




[1] Ceramah dalam rangka Kegiatan Permbinaan Warga Gereja di Jemaat GPM Bethabara, disampaikan di Gereja Kayu Tiga, tanggal 6 Juni 2013.
[2] Catur Panggilan GPM, PIP/RIPP GPM 2000-2015.
[3] Sebutan akrab bagi pelayanan Gereja adalah Tri panggilan Gereja yaitu: diakonia, koinonia dan marturia. PIP/RIPP GPM 2000-2015 menyebutnya Catur Panggilan GPM, yaitu: diakonia, koinonia, marturuia dan ekonomia.   
[4] Pusat negeri/desa pertama kali orang berkumpul yang kemudian dari sana mereka menyebar membangun negeri/desa baru sebagai pemukimannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar