A.
Pengantar
Terdapat banyak sekali pemahaman orang tentang
hakikat dan makna ibadah. Ada orang yang memahami ibadah itu sebagai sebuah
persekutuan yang melakukan ritus di tempat-tempat tertentu. Ada juga yang
memahaminya sebatas kegiatan liturgis pada waktu-waktu tertentu. Selain itu,
ada juga yang mengatakan bahwa ibadah adalah urusan pribadi dengan Tuhannya,
tidak perlu dilakukan di tempat ibadah berkumpul dengan orang-orang seimannya. Detail
tentang ibadah akan diurai dibagian berikutnya.
Ibadah sebagai sebuah persekutuan yang terjadi
di tempat ibadah, menekankan pada aktivitas dan kreatifitas berkumpul dengan
berbagai karya mengisi kegiatannya beserta dengan berbagai bagian liturgisnya.
Ibadah ini dapat disebut sebagai ibadah yang spiritualis, yang sering kita
sebut sebagai kebaktian (minggu, unit, sektor, organisasi: laki-laki,
perempuan, pemuda, remaja, SM/TPI, dll). Ibadah juga berupa bersekutu,
melayani, bersaksi dan mengupayakan kehidupan ekonomi umat.[2]
Di dalamnya orang berbakti, berkarya dan berprestasi bagi mutu hidupnya
dan dibagikan kepada sesama manusia lainnya. Ibadah di sini sering disebut
ibadah sosial. Ibadah ini adalah mempraktekkan, mendemonstrasikan secara nyata
buah-buah iman Kristen kepada sesama manusia lainnya. Sesungguhnya ibadah
Kristen yang paripurna adalah menyangkut aspek jasmani dan rohani, baik dalam
kata maupun juga karya. Ibadah lengkap ini yang dimaksudkan oleh Paulus dalam
Roma 12:1-2. Di situ Paulus menasihatkan Jemaat Roma bahwa ibadah yang sejati,
benar dan kokoh, adalah ketika mereka mempersembahkan tubuhnya sebagai
persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Tuhan.
B.
Pengertian
Ibadah,
baik dalam pemahaman Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, berarti pelayanan.
Istilah bahasa Ibrani disebut avoda, sedangkan dalam bahasa Yunani disebut latreia. Istilah avoda merujuk kepada ibadah di kuil, Bait Allah
atau Sinagoge dan khusus lebih mengarah dalam hal berdoa (Hastings 1955:527).
G. Riemer (1995:52) mengatakan bahwa menurut Abineno kata
ibadah yang biasanya digunakan dalam Perjanjian Baru diterjemahkan dari tiga istilah
Yunani : leiturgia (Yun. λειτουργια) Kis.13:2, beribadah kepada
Allah, latreia (Yun. λατρεια) Roma 12:1, mempersembahkan
seluruh tubuh dan thereskeia (Yun. θερησκεια) Yak.1:27, pelayanan kepada
orang yang dalam kesusahan.
Dengan
demikian, ibadah adalah avoda atau latreia yang adalah suatu pelayanan yang
dipersembahkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah; tidak hanya dalam arti
ibadah di Gereja (berdoa), tetapi juga dalam arti pelayanan kepada sesama
(Luk.10:25; Mat.5:23, Yoh.4:20-24, Yak.1:27; lihat Douglas 2004:409).
Terdapat
istilah Ibrani lain yang banyak kali salah dipahami berkaitan dengan ibadah
yaitu kata abodah. Kata ini berasal dari pengertian kata kerja abad, kata bendanya adalah abodah. Kata ini berhubungan dengan ebed, artinya pelayan, budak. Kata abad (Kel 5:15; 2 Ta 2:18) dan abodah (Kel 5:9, 11; Neh 3:5). Istilah abodah dikenakan juga untuk kerja orang Lewi
(Kel 38:21; Bil 4:23-47). Ke dua kata abad dan abodah menunjuk kepada pengertian yang sama, yaitu melayani, suatu pelayanan
yang ditujukan kepada seseorang yang statusnya lebih tinggi. Kerja harus
dipertanggung-jawabkan kepada Allah Sang Pencipta atau kerja adalah ibadah yang
harus dilakukan di hadapan Allah. Karena semuanya harus dipertanggungjawab-kan
di hadapan Allah. Dengan demikian istilah abodah ini mengandung makna pelayanan. Sesungguhnya
kerja bukanlah hal yang lebih rendah dari pelayanan yang dilakukan dalam Gereja
dan juga di luar. Sebab motivasi utama kerja adalah melayani Tuhan Allah (Mat.
25:31-46).
Kenyataan di Perjanjian lama, dilarang
menerima pemberian sesen pun dari orang lain tanpa bekerja sesuatu padanya. Seorang Rabi
Yahudi sama kedudukannya dengan seorang dosen di perguruan tinggi; ia harus
menguasai suatu bidang pekerjaan yang dilakukannya dengan tangannya supaya
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tidak heran, ada rabi yang menjadi
tukang jahit, tukang sepatu, tukang cukur, atau tukang roti dan juga menjadi
aktor. Bagi orang Yahudi, bekerja adalah kehidupan. Jadi, semua jenis pekerjaan
yang dikaruniakan Allah kepada seseorang, harus diterima dengan ucapan syukur
tanpa harus menjadi irihati berbanding pekerjaan yang lebih banyak menghasilkan
uang.
C.
Ibadah Sebuah Pelayanan Gereja yang Paripurna
Gereja
(ecclesia)
yang dimaksud dalam Perjanjian Baru adalah sekelompok
orang yang dipanggil oleh Roh Kudus untuk menyaksikan Kabar Sukacita tentang
kasih dan keselamatan Tuhan kepada manusia lain di dunia (KPR. 2;1-13). Mereka
adalah sekelompok orang yang memiliki persekutuan yang indah (KPR. 2:41-47;
4:32-37). Dalam Perjanjian Baru Gereja bukan suatu bangunan gedung atau sistem
organisasi melainkan sekelompok ummat Allah, tubuh Kristus dan persekutuan yang
sesungguhnya dalam Tuhan. Yang terpenting bagi orang Kristen selaku anggota
Gereja, adalah hubungannya dengan Yesus Kristus sebagai Kepala (Efesus 4: 12,
15-16). Mereka adalah bagian utuh dari satu persekutuan orang percaya.
Hidup
persekutuan orang percaya di dalam Gereja saman Perjanjian Baru menyang-kut tiga
fungsi utama, yaitu: ibadah, persekutuan dan kesaksian.[3]
Selain itu masih ada fungsi lainnya seperti berdoa, pemahaman Alkitab,
pengajaran dan sebagainya.
1.
Ibadah
Hidup bersekutu dan beribadah terjadi dalam Jemaat.
Ada empat fungsi ibadah, yaitu: perayaan, pendidikan, pertobatan dan penyerahan
diri. Sebagai suatu perayaan, dari ibadah Israel dalam Perjanjian Lama dan
ibadah Jemaat dalam Perjanjian Baru, sampai ibadah jemaat gereja masa kini,
seluruhnya meninggikan dan merayakan kuasa abadi dan kasih setia Allah. Melalui
Yesus Kristus menyelesaikan karya besar penyelamatan dan penebusan umat
sederhana, juga merayakan karya ajaib Roh Kudus hingga kini, melalui jemaat
memuliakan Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Sebagai tempat pendidikan, dalam
ibadah Allah berfirman kepada kita melalui Roh Kudus. Dia membimbing kita ke
jalan-Nya melalui membaca Firman Tuhan, menceritakan atau disampaikan. Di
dalamnya Roh Kudus berkarya menggerakkan kita, berfirman kepada kita, mendidik
dan membim-bing kita agar kerohanian kita dapat bertumbuh. Dalam ibadah kita
sadar akan dosa kita dan bertobat. Mendengar Firman Tuhan dalam ibadah, kita
memberi respon terhadap Firman Allah biasanya berupa puji-pujian dan perayaan.
Tetapi ada juga respon lebih khusus yakni kesadaran akan dosa dan pertobatan
pribadi. Contohnya, ketika nabi Yesaya melihat Kemuliaan Allah, dia menyadari
kenajisan dan dosa dalam dirinya. (Yesaya 6). Dalam ibadah kita menyerahkan diri
untuk dipakai Tuhan Allah sebagai alat kemuliaan bagi Tuhan.
2.
Persekutuan
Hidup persekutuan berfungsi sebagai Terang dan
Garam bagi dunia. Alkitab mencatat: "Demikian juga
kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh
di dalam Kristus, tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap
yang lain" (Roma 12 : 5 ). Persekutuan Jemaat
bermaksud untuK saling menguatkan iman (internal) dan kemudian keluar kepada
dunia untuk menjadi berkat (eksternal). Peran ini membuat orang Kristen
berfungsi sebagai pembagi berkat TUHAN kepada sesamanya. Paulus berkata kepada Timotius:
"Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan
Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus
terang memberitahukan perkataan kebenaran itu"
(II Timotius 2:15).
3.
Kesaksian
Peran jemaat di dalam gereja adalah bersaksi,
memberi kesaksian tentang Allah yang penuh kasih, mengaruniakan Anak-Nya yang
tunggal Jesus Kristus, disalibkan demi dosa manusia, mati menanggung dosa
manusia, dan bangkit dari kematian supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya memperoleh
hidup yang kekal (Yohanes 3;16). Selain itu juga memberi saksi hidup dalam
kehidupan memuliakan nama-Nya (I Korintus 10:31). Kesaksian adalah tugas kepedulian
nyata Gereja kepada dunia (Ibrani 10:24).
D. Ibadah Sebuah Ritual Kontekstualisasi
Bagian hidup ibadah
dan persekutuan Gereja tidak lepas dari fakta sosial budayanya. GPM berada
dalam lingkar kekayaan adat budaya lokal yang mencitrakan karya kasih dan
anugrah Tuhan yang Mahaagung. Adat-budaya dengan semua ‘produk’-nya seperti pandangan
hidup (world view), kearifan lokal (local wisdom), sistem nilai lokal
(local value system), bahasa, pantun,
tarian, ukiran, tenun sampai berbagai ritual sucinya perlu ditelusuri supaya
ditemukan apa saja pesan kasih, kemurahan dan sukacita yang Tuhan tinggalkan
bagi kebaikan hidup manusia pemiliknya. Semuanya adalah kekayaan dan keragaman konteks
berteologi Gereja (Schreiter 1993; cf. Sedubun 2001; Sedubun 2012).
GPM mesti bisa menyatakan keputusan
transformasi nilai-nilai adat-budaya di Jemaat-Jemaatnya sebagai upaya nyata
berteologi. Upaya itu mewarnai visi Gereja dan peribadatannya; bagaimana
konsep-konsep pandangan dunia (world view), kearifan lokal (local wisdom) dan sistem nilai
lokal (local value system) menjadi kekhasan
teologinya; bagai-mana tarian-tarian adat, pantun-pantun tua, nyanyian tanah,
ukiran pada tiang dan mahangi gedung baileo bisa mewarnai dan diterima
sebagai kekayaan liturgis dan turut mewarnai bangunan Gerejanya; bagaimana
tradisi-tradisi adat : perkunjungan ke rumah tua, ke kubur, ke woma[4] negeri atau ke
kampung lama, mengalami pencerahan dari paham penyembahan kepada orang mati dan
roh leluhur kepada penghormatan terhadap inti nilai moral atau sentrisme. Ia adalah sebuah ‘repetisi
ritual’ adat dan bukan sebuah penyembahan (lihat Sedubun 2012:184-186). Saudara-saudara
Katolik telah berani mene-gaskan bahwa perkunjungan ke kubur orang mati/
orangtua adalah penghormatan (lihat Jebadu,
2009:298-299). Sebab orang percaya
hanya menyembah kepada Tritunggal yang Esa: Tuhan Allah, Tuhan Yesus dan Roh
Kudus.
Simbol-simbol konsep
adat-budaya dan tradisi-tradisi yang dikandungnya punya daya simbolis yang
mengartikan esensi nilai komunikasi dalam masyarakat (Dillistone
1986:199-210). Daya simbolisnya biasa tampak dalam proses
perjalanan waktu (Hall 1960:15-19). Von Rad (1972:56-57) mengatakan bahwa
di dalamnya ada ‘hati yang mendengar’ atau ‘hati yang paham’ yang berujung pada
hidup yang teratur taat kepada hukum. Bahwa hidup orang percaya yang berjalan dalam sejarah
dunia adalah bagian utuh dan nyata dari sejarah keselamatan Allah. Di sana, di
dalam kenyataan hidup yang pahit-duka sampai yang manis-suka ada selalu
tanda-tanda penyertaan keselamatan-Nya. Eben Nuban Timo (2004:33-40) mengatakan bahwa
dalam perjalanan waktu hidup manusia yang tertata dalam peristiwa sejarah,
agama dan budaya, terlihat sidik jari Allah. Maksudnya, di
semua peristiwa itu entah petaka ataukah prestasi, Tuhan Allah mening-galkan
tanda-tanda penyertaan-Nya. Tinggal bagaimana manusia, terpenting bagi orang
percaya, memahami dan mengartikannya supaya kembali mencari cinta kasih dan anugrah-Nya.
Bagi GPM bagaimana
ibadah dan hidup persekutuan kita dapat diwarnai dari dalam semua kekayaan
adat-budaya dengan berbagai kekayaan tradisinya. Tentu perlu ada upaya kritis
terhadap semua kekayan lokal Jemaat itu. Termasuk bagaimana hubungan hidup
antar masyarakat dan antar Jemaat-Jemaat mendapat pencerahan baru dari kekayaan
kearifan lokal kita : pela (Maluku Tengah,
Ambon dan Lease), kai-wait (Buru), ain ni ain (Kei-Maluku
Tenggara), bela (Aru dan Tanimbar). Intinya adalah apakah di dalam kekayaan
tradisi adat-budaya di konteks Maluku itu kita, GPM, melihat, merasakan dan
kemudian memiliki kasih sayang Tuhan yang sudah menyelamatkan kita, lalu mau
kita demonstrasikan sebagai sebuah kesaksian hidup kepada diri kita dan juga
kepada orang lain yang belum mengenal-Nya. Karena hidup kita sudah diselamatkan
oleh anugrah kasih-Nya dalam pengorbanan Tuhan kita Yesus Kristus, maka hidup
orang percaya adalah penting mendemonstrasikan ibadah Perjanjian Lama, avoda, ibadah kerja aboda sebagai ebed (hamba) dan ibadah
Perjanjian baru sebagai latreia. Hakekat hidup kita:
HIDUP adalah IBADAH dan IBADAH adalah MELAKUKAN
KEHENDAK TUHAN.
Tuhan Yesus memberkati kita. Syalom alaikhem/eirene humin; Pdt. Nick Sedubun.
Pustaka
Dillistone F. W
1986 The Power of Symbols, London, SCM Press
Douglas J.D.
(ed.),
2004 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid I, Jakarta, Yayasan
Komunikasi Bina Kasih
Hall Edward. T
1959 The Silent Language, New York, FWL
Hastings James,
1955 Encyclopedia of Relegion and Ethics vol.29, New
York, C. Scribner’s Sons
Jebadu Alex
2009 Bukan
Berhala ! Penghormatan Kepada Leluhur, Maumere, Ledalero
Riemer G,
1995 Cermin Injil, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina
Kasih
Sedubun, Nicodemus
2001 Kalimat-un
Sawa Dalam Qur’an, Sebuah Sumbangan Pemahaman Aqidah
Islam
TerhadapSumpah Perdamaian Hawear (Tesis), Yogyakarta, PPS-T UKDW
2012 Ain Ni Ain Managing Christian-Moslem Relationship In The South East Moluccas (Ain Ni Ain Mengelola Hubungan
Kristen-Islam
Di Maluku Tenggara), Disertasi, Atesea Thelogical Union (ATU) & Universitas
Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta
Subagya Rachmat
1979 Agama dan Alam Kerohanian Asli Indonesia,
Jakarta, CLC
Timo, Eben Nuban
2005 Sidik
Jari Allah Dalam Budaya, Maumere, Ledalero
von Rad, Gerhard
1970 Wisdom
in Israel, London, SCM Press
[1] Ceramah
dalam rangka Kegiatan Permbinaan Warga Gereja di Jemaat GPM Bethabara,
disampaikan di Gereja Kayu Tiga, tanggal 6 Juni 2013.
[3] Sebutan
akrab bagi pelayanan Gereja adalah Tri panggilan
Gereja yaitu: diakonia, koinonia dan marturia. PIP/RIPP GPM 2000-2015 menyebutnya Catur Panggilan GPM, yaitu: diakonia,
koinonia, marturuia dan ekonomia.
[4] Pusat negeri/desa pertama kali orang berkumpul yang
kemudian dari sana mereka menyebar membangun negeri/desa baru sebagai
pemukimannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar